Tuban - Sekolah paralegal berbasis perempuan pesisir di Desa Socorejo, Kecamatan Jenu telah ditutup/closing oleh Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR) dan Forum Pengada Layanan Kabupaten Tuban. 

Kepala Desa Socorejo, Z. Arief Rahman Hakim dan Sekretaris Camat (Sekcam) Jenu, Suwarsono hadir dalam closing pada Sabtu (5/9/2020) siang. 

"Sudah saatnya perempuan diberdayakan supaya kelak bisa menjadi seorang pemimpin. Sebuah pengalaman sangatlah penting, supaya perempuan mengetahui kesetaraan dan mampu menyamai laki-laki," tutur Kang Arief kades muda alumnus UIN Yogyakarta. 

Kang Arief berharap peserta sekolah paralegal segera menularkan ilmunya kepada lingkungan sekitarnya. Supaya semakin banyak perempuan yang mengetahui hukum dan semakin berdaya. 

Sementara itu, Ketua KPR Tuban, Suwarti menjelaskan sekolah paralegal ini telah berlangsung dua bulan terakhir dan ditutup dengan pelatihan peradilan semu. Diharapkan bisa menjadi paralegal yang bertanggungjawab dan menjadi jembatan masyarakat. 

"Endingnya bisa memperoleh keadilan yang sesungguhnya sesuai undang-undang yang berlaku," sambung Warti asal Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. 

Data berbicara tentang kasus kekerasan perempuan dan anak yang didampingi KPR secara mandiri selama tiga tahun terakhir ada 155 kasus di Kabupaten Tuban. 

Data tersebut akan lebih tinggi jika dikawinkan dengan data Unit Perlindungan Perempuan Anak (UPPA) Polres, Pemkab, dan RSUD Tuban. Meskipun dalam alam bawah sadar, kita mengakui kekerasan perempuan dan anak yang nampak adalah puncak gunung es. 

Artinya yang tidak melapor dan belum mendapatkan layanan secara komprehensif (layanan litigasi dan nolitigasi) tentunya sangat banyak.

Perempuan di Kabupaten Tuban memiliki pengetahuan yang minim soal perlindungan perempuan dan anak. Mereka cenderung mengahadapi kendala dalam mengakses keadilan melalui mekanisme hukum, yang bisa menyebabkan kehilangan hak-haknya dan kesempatan atas sumberdaya. 

Adanya UU nomor 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum sebagai wujud tanggungjawab terhadap akses keadilan bagi masyarakat, namun kenyataannya penegakan supremasi hukum yang dijalankan penegak hukum dan pelaku kekuasaan kehakiman di negara kita masih jauh dari rasa keadilan. 

Terutama keadilan bagi perempuan masyarakat yang termiskinkan oleh keadaan yang menjadikan mereka korban kekerasan belum memiliki akses secara maksimal terhadap keadilan. 

Dari kondisi ini, sekolah paralegal berbasis perempuan pesisir di Socorejo digelar sejak Februari-Maret 2020. Ada enam kali pertemuan dengan materi yang disampaikan, penyuluhan hukum, pemberdayaan masyarakat, gender basic, body maping, konseling dasar, keparalegalan untuk memotret fungsi dan peran paralegal, hak dan kewajiban paralegal.

Materi lain ruang lingkup paralegal, prinsip kerja paralegal mengedukasi dan upaya menciptakan pemerataan akses keadilan bagi masyarakat khususnya perempuan dan anak korban kekerasan, praktek peradilan semu dan rencana kerja bersama. 

"Dengan dilaksanakan sekolah paralegal berharap komunitas mampu memberikan pendampingan hukum bagi perempuan korban kekerasan di luar pengadilan, mampu memetakan daerah yang rawan terjadi tindakan kekerasan, memberi informasi dan kesadaran kepada masyarakat khususnya perempuan terkait dengan prosedur penanganan kasus perempuan dan anak korban kekerasan," pungkas Warti. (*)