Socorejo- Apresiasiyang luar biasa masyarakat Socorejo, dengan pertunjukan pemuda-pemudi Dusun Borosoco dalam teatrikal Sarip Tambak Oso di gebyar Kemerdekaan PHBN Socorejo 2018.
Kreatifitas seni teater yang dipadukan dengan seni lawak, benar-benar memukau penonton yang memenuhi Lapangan Bazoka Socorejo.
Kepala Desa Socorejo, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, Arief Rahman Hakim, berpesan tetaplah berkreasi, isi kemerdekaan dengan hal-hal yang positif dan bermanfaat bagi Socorejo.
“Merdeka!! Socorejo bangkit berjaya,” pekik Kang Arief sapaan akrab kades muda yang hobi blusukan untuk menyerap aspirasi warganya ini, (24/8/2018).
Diketahui, Sarip Tambak Oso merupakan cerita rakyat dari masyarakat Jawa Timur. Sekilas cerita teater ludruk berawal ketika, wilayah Kulon Kali dikuasi oleh seorang jagoan bernama Paidi. Sementara wilayah lain bernama Wetan Kali dikuasi oleh seorang pemuda tangguh yang berhati keras, mudah marah, Sarip.
Walau berhati keras, ia memiliki kasih sayang yang sangat besar kepada kaum-kaum miskin dan tertindas. Terutama kepada wanita yang telah melahirkannya ke dunia, Ibunya yang lebih banyak dikenal dengan sebutan Mbok e Sarip.
Kulon Kali dan Wetan Kali merupakan dua wilayah yang dibagi dari Dusun Tambak Oso, yang dibatasi oleh sebuah sungai.
Paidi merupakan seorang pendekar yang sehari-hari bekerja sebagai kusir dokar. Sekaligus seorang penguasa wilayah yang sangat terkenal dengan kepemilikan senjata andalan berupa Jagang, yang tersohor dengan sebutan Jagang Baceman.
Sementara Sarip, si penguasa Wetan Kali, hanya memiliki sebilah pisau dapur sebagai senjata andalannya. Walau begitu, ia sangat berguna bagi lingkungan sekitarnya.
Di tengah kemiskinan dan kebodohan, Sarip menjadi seorang pencuri berhati mulia, yang mencuri di rumah-rumah orang Belanda, saudagar kikir, dan para lintah darat untuk dibagi-bagikan kepada warga miskin.
Dalam hidupnya, Sarip selalu menjadi target operasi pemerintahan Belanda, yang karena perbuatannya dianggap selalu membuat keonaran dan memprovokasi masyarakat untuk menentang kebijakan negara penjajah itu.
Ia pun melakukan perlawanan kepada tuan tanah yang bertindak sewenang-wenang.
Suatu ketika Sarip mendapati Ibunya sedang dihajar oleh Lurah Gedangan, karena ibunya tidak dapat membayar pajak tanah garapan berupa tambak.
Melihat hal tersebut Sarip marah dan langsung menghabisi nyawa Lurah Gedangan dengan sebilah pisau dapur yang menjadi senjata andalannya. (*)