Malem Songo adalah tradisi masyarakat Jawa untuk menikah pada malam ke-29 dalam bulan ramadhan. Malam tersebut dianggap malam yang baik untuk melangsungkan pernikahan, sehingga dalam satu malam terdapat ratusan pasangan calon pengantin yang melaksanakan akad nikah.
Ada banyak alasan mengapa tradisi ini mengakar kuat pada masyarakat. Pertama, karena malam tanggal 29 adalah malam ganjil terakhir pada bulan Ramadlan, sehingga diyakini sebagai malam istimewa, karena bertepatan dg malam Lailatul Qodar. Kedua, tradisi ini dianggap baik karena saat malam 29 Ramadlan, banyak keluarga pengantin yang sudah mudik (pulang kampung), khususnya yang dari jauh (luar pulau, luar negeri, dsb) sehingga menjadi momentum yg tepat untuk melangsungkan pernikahan dengan disaksikan seluruh keluarga. Ketiga, disegerakannya melangsungkan pernikahan pada akhir Ramadlan karena diyakini bahwa puasa dapat mencegah hawa nafsu sesuai hadits nabi “Yaa Ma’syaro al syabab, man istatho’a minkum al ba’ata …..”. Khawatir tidak dapat menahan nafsu selepas bulan puasa, maka lebih baik segera dinikahkan.
Tradisi pernikahan pada Malam Songo ini diistimewakan di atas tradisi yang lain. Artinya, pernikahan tetap dilangsungkan pada malam songo, meski setelah dilangsungkan perhitungan tanggal (weton), diketahui bahwa nogo dino pada hari tersebut tidak sesuai atau tidak baik. Namun karena hari tersebut adalah Malam Songo maka pernikahan tetap dapat dilaksanakan.
Masyarakat setempat meyakini adanya weton atau tradisi menghitung hari berdasar hari dan pasaran kelahiran pasangan calon pengantin ini didasarkan pada keteraturan alam yang berlaku pada hari dan pasaran tersebut, bukan dengan asal mencocokkan semata. Oleh karenanya, ilmu ini masuk kategori Ilmu Titen, bukan Ilmu Gathuk. Ini menjadi materi yang unik untuk diteliti pada lain pembahasan, baik dibaca dari aspek sejarah, hukum dan lain sebagainya.
Yang jelas, apapun itu Tradisi Nikah pada malam 9 adalah sebuah kearifan lokal yang terus diyakini kebaikannya oleh masyarakat milenial sekalipun. (*)