Pada wacana sufistik, kita mengenal istilah al-insan al-kabir atau makrokosmos atau jagad gede dalam khazanah Jawadipa. Bagaimana konsep ini jika diterapkan dalam konteks kita sebagai sesama manusia?
Sederhananya, kalau kita ngopi lantas cengengesan bermain hape sendiri mengabaiakan kawan di samping, maka kita gagal sebagai bagian dari universe, dalam hal ini warung kopi. Kita terkungkung di dalam ke-egois-an kita sendiri, mengabaikan jagad yang didalamnya ada kawan, krupuk, kacang, rokok, es cao, jemblem, ote-ote dll. Kita jadi makhluk yang naif, mementingkan diri sendiri dan bedebah.
Kita perbesar lagi konsep ini kedalam konteks sosial. Obsesi kita untuk memuaskan diri sendiri, jika tidak disertai dengan kesadaran kita sebagai manusia yang utuh, yang tidak bisa melihat manfaat bersama tanpa mementingkan diri sendiri, akan mencederai kemanusian kita. Kita tak ubahnya ayam yang eker-eker larahan golek panganan kemudian pulang kandang menjelang maghrib. Maka kita tak usah sekolah saja, mengaji, kuliah, nimbo kaweruh, kita main qiu-qiu saja di prapatan sambil nunggu bedhug buko.
Pointnya, kegagalan kita menggapai kekuasaan tidak lantas membuat kita memusuhi sistem itu sendiri. Ketidakberhasilan kita memperoleh pekerjaan bukan membuat kita jadi orang yang memaki-maki pekerjaan itu sendiri. Yang perlu kita tekankan adalah manfaat bagi sesama manusia, bukan manfaat bagi diri sendiri. Jika kita gagal pada point ini, maka kita gagal jadi bagian dari semesta, universe, makrokosmos, dan gagal jadi manusia yang utuh, eker-eker larahan saja.
Ditulis oleh Maul Thok