Ada banyak artikel bertebaran tentang ketupat di internet, tentang maknanya maupun filosifinya. Ketupat diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga. Dalam pelaksanaannya, tradisi lebaran ketupat diselengarakan pada hari kedelapan bulan syawal setelah menyelesaikan puasa syawal selama enam hari. Simbol ini bermakna ‘ngaku lepat’, yang dalam prosesinya, seorang anak bersimpuh dihadapan orang tua memohon maaf. Selebihnya, bisa Anda cari makna filosinya di internet.
Mengapa ketupat atau lebih tepatnya menggunakan simbol?
Struktur budaya masyarakat Jawa pra Islam sangatlah berbeda dengan Arab pra Islam. Bangsa Arab pra Islam dalam budayanya sangatlah mengagungkan prosa dan sastra seperti qasidah, diwan atau syair-syair kepahlawanan, maka tak mengherankan jika risalah-risalah yang disampaikan kepada bangsa Arab pra Islam hampir seluruhnya berbentuk verbal.
Di Jawa, kita tahu banyak peninggalan-peninggalan berupa simbol berbentuk patung, arca, maupun pusaka-pusaka dengan karakteristik tertentu, meskipun ada banyak juga peninggalan rontal-rontal berisi wejangan. Maka, proses dakwah yang paling tepat adalah sinkretisasi budaya melalui simbol-simbol setempat. Terjadi kausalitas dalam prosesnya, dan proses ini tidaklah dilakukan secara sembarangan. Perlu pemikiran matang, berbagai pertimbangan dan diskusi yang panjang.
Kita tidak bisa melihat sejarah masa lalu dengan cara berpikir masa sekarang. Banyak variabel yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Ada sub-sub sosial yang perlu diperhatikan seperti struktur sosiologi, geografi, ekologi, antropologi, dll. Jika kita memaksa dengan berpikir masa sekarang yang terjadi adalah ahistori, benturan logika, yang berujung saling menyalahkan satu sama lain. Pada titik paling ekstrim, bentuk radikalisme terjadi karena ketidakmampuan memahami kejadian secara menyeluruh, secara parsial, dan gegabah dalam memutuskan sesuatu.
Ada beberapa hal dalam hidup kita yang memang sulit dipahami, yang membutuhkan proses panjang serta pengalaman yang begitu melelahkan sebelum kita benar-benar mengerti.
Kita sederhanakan proses dialektika ini ke level individu. Jika misalnya ada ulama, kepala pemerintahan, ustadz, kyai, atau guru memutuskan kebijakan yang dalam kebijakan itu tidak sesuai dengan logika individu kita, jangan terburu menghakimi benar atau salah, apalagi menghujatnya. Kebijakan itu diambil bukannya tanpa pertimbangan. Ada kemaslahatan orang banyak di dalamnya dan tetu saja ada pengawasan. Kita bandingkan kemampuan keilmuan dan pengalaman diri kita dengan orang-orang diatas kita. Apakah sudah benar kita menghakimi kebijakan tersebut, atau kita menghakiminya hanya karena memang tidak sesuai dengan kepentingan pribadi atau kelompok? Atau jangan-jangan kita yang lelah dengan keadaan hidup kita?
Begitulah cara memahami ketupat dan simbol-simbol yang tidak ada pada zaman nabi.
Lima hari menuju Pilgub dan Wagub 2018
Salaam,
9 Syawal 1439 H
Ditulis oleh : Maul (Kaur TU dan Umum Pemdes Socorejo)